Dalam Diam
By: Nina Kurnia Dewi
Aku tersenyum samar melihat senyum yang mengembang di bibir pemuda itu. Senyuman sempurna yang begitu mempesona. Membuncahkan kebahagiaan tiada tara, meski bukan aku yang menciptanya. Tentulah! Memang siapa aku hingga mampu mencipta senyum di bibirnya? Sedang dia tak pernah mengenalku.
Jiwaku tergelitik saat terbesit kata mengenal di otakku. Bagaimana bisa? Menatapku saja begitu jarang dilakukannya. Jika pun dia menatapku, bukan tak mungkin hanya sebuah ketidaksengajaan. Sekali lagi, aku tersenyum. Bukan senyuman bahagia melainkan senyuman dengan sejuta luka.
"Dewi?" alunan suara itu membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh. Kudapati seorang gadis berkaca mata berdiri di hadapanku.
"Ya?"
"Temenin ke perpus," rengeknya seperti biasa.
"Yelah! Gue lagi mager Nona Gita!"
Gadis itu mengernyit. Manik matanya mengikuti sorot mataku tertuju.
"Bukan mager. Cuma lagi keasyikan mandangin kakak kelas XII," godanya kemudian.
Aku hanya menatapnya lekat.
"Udah deh! Temenin gue!" katanya otoriter seraya menarik lenganku.
Aku tak bisa menolak.
***
Ritme itu kembali terdengar. Makin jelas dan meyakinkan. Tahun kedua aku melangkahkan kaki di Sekolah Menengah Atas ini, tak ada hal yang mampu menarik perhatianku. Kecuali satu, pemuda itu, Rio Nathan Aditya. Pemuda rupawan dengan tubuh atletisnya yang bermarkas di XII IPA 3.
Aku mengenalnya sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama. Kala itu, aku duduk di kelas VII. Dan entah apa rencana Tuhan, Dia mengrahkan sorot mataku kepada seorang siswa baru penghuni kelas VIII. Sorot mataku bertemu dengan mata elangnya. Dan perlahan, ritme itu mengalun lembut, tanpa diiringi untaian kata.
Pengecut. Memang, aku pengecut. Sekali pun aku tak pernah mengungkapkan perasaanku. Biar rasa ini tersimpan rapi dan rapat di dasar hatiku. Cukuplah aku memuji dan mengaguminya dalam diam. Aku rela menunggu, hingga dia menyadari pesan rinduku tersimpan di tiap bulir oksigen yang merasuk di keping-keping darah merahnya. Hingga cerita yang dituliskan Tuhan sampai kepada titik bahagia.
***
Diam...
Menunggu...
Untuk hal yang indah pada waktunya.
**
Aku tak pernah takut bermimpi, sekalipun terlalu tinggi. Dan andai suatu saat aku terjatuh, maka aku akan berdiri kembali, dan meniti tangga ke puncak mimpi itu lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Hingga suatu hari, mimpi itu tak lagi menjadi mimpi.
Layaknya hari ini. Pemuda yang kukagumi bercengkrama mesra dengan seorang gadis. Entahlah. Kekasihnya mungkin, atau hanya sekedar teman. Atau bahkan memang hanya "teman". Aku tersenyum getir. Satu persatu harapanku memudar. Harapan untuk bersanding dengan pemuda itu, harapan untuk bisa bercengkrama dengannya, dan harapan-harapan lain yang begitu lama kurajut. Aku juga ingin bersamanya.
Sakit? Sudah pasti. Tak ada satupun manusia yang tak merasakan sakit kala terjatuh. Mrintih dalam diam, satu perkara bodoh yang kerap kulakukan. Aku memang bodoh. Dan mungkin teramat bodoh. Namun keyakinan dalam hatiku tertancap tegap. Hatiku ingin mempertahankannya. Rasa itu. Biarlah ia bersemi. Dan aku akan menunggu dia memetik ranumnya. Tanpa kata. Dalam diam, dalam kelam. Hingga Tuhan menyalakan lentera kebahagiaan.
***END***