(Mungkin) Bahagia adalah Melupakanmu
By: Nina Kurnia Dewi
“Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat
Tak bersayap
Tak cemerlang
Tak rupawan
Namun kasih ini
Silakan kau adu
Malaikat juda tahu
Siapa.... yang jadi.... JUARANYA”
Suara merdu Dewi Lestari menggema memenuhi sudut-sudut ruanganku. Aku semakin terisak lembar-lembar tissue berserakan disekelilingku. Sudah kucoba untuk tidak menangisi ini, membiarkannya menjadi angin lalu. Namun rupanya aku gagal. Cairan bening ini tetap menetes dari pelupuk mataku, bahkan semakin deras, tak kunjung mengering. Walau kusadar jika ini tak berguna. Tak akan mengubah segalanya. Air mata hanya mengisyaratkan betapa lemah dan rapuhnya aku.
Aku mmang lemah. Bukan hanya lemah, namun juga rapuh dan lapuk. Kau tahu apa penyebabnya? Satu kata, tiga huruf yang sekarang tak ada artinya lagi bagiku. KAU. Kau yang menjadikan aku begini. Aku baik-baik saja sebelum hadirmu! Sebelum kau bawa seberkas harapan itu. Harapan tak berujung yang telah membiusku dan sekarang sukses membunuhku. Menenggelamkanku dalam buaian rasa yang telah kau tinggal pergi.
Kadang aku berpikir, sebegitu keraskah hatimu? Hingga kau sama sekali tak merasa apa yang aku rasa? Hingga kau tak pernah sadar jika aku selalu ada untukmu? Hingga kau tak menyadari rona merah jambu sang sakura telah lama tumbuh dihatiku? Dan tahukah kamu jika aku menunggumu? Menunggumu untuk memetiknya dari hatiku. Haruskah aku berkata “AKU MENCINTAIMU” agar kau sadar rasa itu sungguh ada dihatiku? Haruskah aku meneriakkan “AKU INGIN KAU DISINI” agar kau sadar sungguh ku membutuhkanmu?
Tetes-tetes air mataku tak kunjung reda. Kubenamkan diriku diantara tumpukan bantal dan selimutku. Rambut panjangku terurai tak karuan. Tiba-tiba kurasakan getaran dicelah-celah tumpukan itu. Aku tersentak. Sebuah pesan kuterima dari dia yang tak ingin kusebut namanya. Hanya kubaca sekilas pesan itu, namun sukses membuat nyeri dan ngilu hatiku. Membuatku muak dan mual. Ku genggam erat handphoneku. Ku angkat tanganku hendak membantingnya. Namun segera kuurungkan niatku. Ku tundukkan kepalaku dalam. Hal yang paling kubnci terjadi, ketika kemarahanku berubah menjadi air mata. Cairan bening itu mengalir makin deras membasahi pipiku. Bagaimana tidak? Kau memang benar-benar tak punya hati. Kemanakah pikiranmu? Perlukah kau memberitahuku apa yang sedang kau lakukan dengan gadismu? Tidakkah kau tahu jika ini hanya menambah lukaku? Tidakkah kau tahu jika aku benci menjadi tempat pelarianmu? Aku bukan tempat sampah!! Aku manusia yang memiliki perasaan!! Bukan boneka yang bisa kau perlakukan semaumu.
********
Kuambil lagi selembar tissue. Kucoba untuk mengeringkan bekas air itu. Namun sia-sia. Air itu terus mengalir dari sumbernya. Aku tak kuasa menahannya. Kutatap nanar layar handphoneku. Isakanku makin menjadi. Sayup-sayup kedengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Segera kumatikan MP3ku.
“Dewi..” kata sebuah suara yang sudah akrab ditelingaku.
“Iya Bun, silakan masuk,” jawabku parau. Seorang wanita paruh baya membuka pintu kamarku seraya melangkah masuk dan duduk ditepi tempat tidurku. Kutangkap sebuah keterkejutan dimimik wajahnya.
“Kamu kenapa De?” tanyanya khawatir. Aku tak menjawab. Kutundukkan kepalaku.
“Raka?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk lemah. Bunda pasti sudah paham. Dia mengetahui hubugan pelikku dengan seseorang yang namanya dia sebut. Bunda menghela nafas panjang. Ditatapnya mataku dengan penuh cinta kasih sembari membelai rambutku.
“Dewi, buat apa kamu menangisi seseorang yang belum tentu mau meneteskan setetes air matanya saja untukmu?” kata bunda penuh nasihat. Aku tak berani menatap matanya.
“Dewi jatuh hati Bun,” jawabku singkat.
“Lalu untuk apa kamu jatuh hati bahkan mencintai orang yang tidak mencintaimu? Untuk apa kamu kuras hati dan pikiran kamu untuk itu? Sedang dia belum tentu melakukan hal yang sama untukmu?” kejar Bunda. Aku terdiam. Mencoba mencerna kalimatnya.
“Kamu ingin bahagia?” tanyanya lagi.
“Tak ada orang yang mengelak dari hadirnya Bun,” jawabku acuh. Bunda tersenyum.
“Lupakan Raka! Kamu akan menemukan kebahagiaan,” kata Bunda. Aku terkejut. Kali ini kuberanikan diri untuk menatapnya. Bunda hanya tersenyum kemudian beranjak meninggalkanku yang masih terpaku.
“Lupakan Raka! Kamu akan menemukan kebahagiaan,” lirihku mengulang kalimat Bunda. Ada benarnya. Mungkin itu yang harus kulakukan. Melupakanmu. Kuusap air mataku. Kuguratkan sebuah senyuman. Aku ingin bahagia. Aku ingin bahagia. Bukan hanya menangisi dan memikirkan dirimu. Aku tak sebodoh itu. Aku ingin bahagia. Dan aku akan melupakanmu. Karena, bahagia adalah melupakanmu.
-Aku bisa melupakanmu. Namun aku butuh waktu. Setidaknya hingga aku menemukan penggantimu. Itu hanya masalah waktu- Author
***END***