Mereka menghilang. Tanpa jejak, tanpa bekas. Tak secuil pesan pun ditinggalkan. Sepi kembali merayap, menyusuri relung-relung malam. Kisi-kisi hati ini hanya mampu meratap, saat mereka, anak cucu Adam yang dipercaya untuk selalu ada di sini, pergi begitu saja. Serpihan luka itu kembali hadir. Mencuat tanpa diminta. Jiwa ini seakan kehilangan tempat berpijak. Terasa begitu rapuh dan tak berguna.
Lalu itukah makna dari mereka yang kita banggakan? Yang kita harapkan untuk selalu berdiri sembari mengulurkan tangannya saat kepelikan hidup menerjang? Pantaskah mereka pergi bagai hujan tanpa awan? Pantaskah mereka menghilag saat tak ada lagi kebaikan dari kita yang patut dibanggakan? Atau, lebih pantaskah jika mereka menghilang karena permata baru telah mereka temukan? Saat kita kehilangan cahaya untuk bersinar? Itukah makna kebersamaan yang selama ini diidamkan tiap insan?
Tak perlu kita bertanya pada mereka. Biarlah mereka kehilangan nurani. Biarlah permata baru itu menguasai jiwa raga meraka. Apakah kita masih harus tetap peduli pada mereka yang meninggalkan kita begitu saja? Yang masih bisa tertawa kala kita merintih? Ya. Kita tak boleh kehilangan nurani, sekalipun hati ini tercabik-cabik belati. Itu bukan kesalahan meraka. Justru salah kita yang terlalu bergantung pada mereka.
Siapapun. Orang tua, sahabat, teman dekat, pasangan, berhak pergi tanpa permisi.
Saat itulah, kau harus belajar untuk berdiri sendiri. Tanpa siapapun disampingmu, selain Tuhan.