Hanya
Sebatas Harapan
By: Nina
Kurnia Dewi
Senyum itu kembali
mengembang di bibirku kala kutatap namanya yang terukir di ponselku. Ya, satu
pesan kembali kuterima darinya. Tak ada yang istimewa dari isinya. Namun,
pengirimnyalah yang selalu membuat hati ini berdebar tak karuan, pemuda itu.
Bukan, dia bukan kekasihku. Dia
adalah kakakku. Walaupun tak ada darah serupa yang mengalir di tubuh kami. Baginya,
aku adalah adiknya, dan bagiku, dia adalah kakakku. Tempat berbagi suka duka. Tempat
berbagi air mata dan tawa.
Ingatanku kembali tertuju
pada kala itu. Saat awal mula aku berkenalan dengannya. Senyum manisnya mengembang
begitu mempesona kala tangan kokoh itu menjabat tanganku. Suaranya yang merdu
menggema, menyebut namanya dan menanyakan namaku. Aku masih ingat bagaimana aku
tersipu malu saat dia memujiku. Terlebih lagi, kala dia menanyakan nomor
ponselku. Jiwaku seakan terbang ke angkasa, mengelilingi jagad raya. Kebahagiaanku
membuncah.
Tidak, aku tidak
menyukainya. Aku tidak memiliki perasaan istimewa kepadanya. Namun itu dulu. Dulu..
saat aku masih mampu mengendalikan dan menekan perasaan ini. Saat ranum sakura
itu belum bemekaran layaknya detik ini.
Aku hanya menganggapnya
sebagai kakak, pada awal mulanya. Awalnya kukira perasaan bahagia itu tumbuh
karena aku mendapatkan seorang kakak yang selalu memperhatikanku, mengingat
statusku sebagai anak tunggal. Perhatian dan kasih sayangnya selalu membuatku
merasa nyaman kala berada di sisinya. Pun perhatian itu hanya diberikannya
melalui pesan-pesan singkat yang tiap hari dikirimkannya kepadaku.
Kami memang jarang bertatap
muka. Pemuda itu tinggal di luar kota untuk melanjutkan belajarnya di perguruan
tinggi. Sementara aku yang masih belum rampung mengenyam bangku sekolah
menengah atas, tinggal di kota ini. Tempat kelahiranku, begitu juga dengan
dirinya.
Awalnya aku tak pernah
percaya jika perasaan istimewa tumbuh karena telah terbiasa. Aku selalu
menyangkal jika nenekku berkata witing tresno jalaran soko kulino. Karena
bagiku, benih sakura itu tersemat pada pandangan pertama. Love at the first
sight, begitulah orang barat menyebutnya.
Namun kini, aku dipaksa
untuk mempercayai perkataan wanita tua itu, nenekku. Sakura itu telah tumbuh
melebihi batasan yang kuinginkan. Aku kalah. Aku ceroboh. Dan aku membiarkan
perasaan itu tumbuh subur di dasar hatiku. Ingin kutebang dan kupangkas habis. Tapi
tak bisa, akar-akar kokohnya menancap tegap. Tak pernah menbiarkanku
membuangnya.
Witing tresno jalaran soko
kulino. Aku
tidak munafik. Perlahan rasa itu tumbuh dalam hatiku. Membesitkan sejuta
harapan dengan sebuah lara yang kejam dan menyakitkan. Pesan singkat darinya
selalu membuncahkan kebahagiaanku. Kini aku memiliki perasaan lain pada
dirinya. Hanya satu hal yang selalu membuatku bisu dan tak mampu berkata,
ikatan yang melingkari kami tak lebih dari sekedar kakak-adik.
Hanya kakak-adik. Tak lebih
dari itu. Aku menyadarinya. Sadar juga bila akar kokoh yang tertanam di dasar
hatiku melukaiku perlahan. Menyisakan bekas kepedihan yang terpendam.
Semakin aku berharap,
akarnya menyeruak kian dalam. Menyayat hati yang tak berdaya. Mengalirkan darah tak kasat mata. Dan meninggalkan bekas luka, tanpa penawarnya.
Entah mengapa aku membiarkan
harapan itu semakin meninggi. Aku membiarkan hati ini memiliki rasa itu pada
dirinya. Meski aku tahu dia takkan pernah mengetahuinya. Dan, ini hanya sebatas
harapan yang tak akan menemui titik akhir. Hanya harapan yang kugantungkan pada
dirinya yang tak pernah tahu isi hati ini yang sebenarnya.
***END***