Fiction

Yang Tak Teraba

June 16, 2012

Yang Tak Teraba
By: Nina Kurnia Dewi

Aku berjalan gontai menuju kamar. Ruang kecil yang selalu mejadi saksi bisu suka dukaku. Aku tersenyum miris. Keanehan yang sedari kemarin kurasakan kembali terjadi. Entah apa itu. Aku bahkan tak mampu menjelaskannya dengan kata-kata.


Sungguh aneh. Walau ini bukan kali pertama aku mengalaminya, namun tetap saja membuatku gusar. Bagaimana tidak? Aku merasakan dua puluh lima persen otakku bekerja dibawah sadar. Memintaku melakukan hal-hal diluar yang aku inginkan. Bahkan tangan dan mataku terasa lemas. Seakan tak mampu menerima perintah dari otakku yang kukendalikan secara sadar.


Aku hanya duduk tak berdaya. Sesekali kupandangi ruangan lain dari pintu yang kubiarkan terbuka. Tiba-tiba saja rumah ini terasa begitu luas untuk kutinggali sendiri. Dan lagi, bulu romanku tiba-tiba saja berdiri. Segera kuraih handphoneku. Kuhubungi Ayah dan Bunda yang sedang berada entah dimana. Namun aneh, tak ada jawaban dari mereka.


“Mungkin lagi sibuk,” gumamku.


Aku segera bangkit. Berjalan keluar kamar menuju kulkas, mengambil kue kering dan segera kembali ke kamar. Aneh. Itu yang mampu kukatakan. Kakiku terasa sangat ringan namun berat untuk digerakkan.


Aku mendesah pelan. Kusebut asma Tuhan berulang kali, saat tiba-tiba bayangan-bayangan alam lain hadir menghantuiku. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanga kiriku.


“Jam lima sore. Mama sama Papa kemana sih?” desahku mulai khawatir.


Tiba-tiba saja aura ganjil itu terasa lagi. Dan kini, aku hampir tak dapat menguasai otakku. Ragaku terasa semakin ringan. Makin ringan. Manik mataku mengangkap sebuah bayangan gadis kecil yang melambai kepadaku. 


“Kamu siapa?” tanyaku lemah.


Kulangkahkan kakiku menghampiri gadis itu. Namun aku tak mampu menguasainya. Aku jatuh tersungkur. Pandanganku buram. Kulihat gadis itu menyeringai lebar dan menghilang menjauhiku. Kupegang kepalaku yang terasa berat. Bak dihantam godam. Dan lagi, dadaku terasa semakin sesak. Aku hanya merintih, namun sangat lemah. Suaraku seperti tertahan di tenggorokan. Dan bibirku terasa kaku.


Aku harus bekerja ekstrim untuk mengatur nafasku yang terasa semakin berat. Belum lagi pandanganku semakin kabur. Semakin kukerapkan mengucap asma Tuhan di dalam hati. Ingin kuteriakkan, namun tak bisa.


“Ya Allah.... Ya Rab.... lindungilah... hamba,” lirihku terbata.


Kukerjapkan mataku berulang kali. Pandanganku semakin buram.


“Mungkinkah lampu-lampu itu kehilangan pendarnya?” gumamku dalam hati.


“Tidak. Tapi aku yang kini tengah berada di alam bawah sadar,”
***END***
   


You Might Also Like

0 comments