Fiction

Tak Perlu Diucapkan

June 16, 2012

Tak Perlu Diucapkan
By: Nina Kurnia Dewi

Kujatuhkan diriku diantara rerumputan yang tumbuh liar di bukit ini. Air mataku mengalir tanpa dapat dibendung. Dadaku terasa teramat sesak. Aku tak mampu menahannya lebih lama lagi. Kubiarkan rinai kepedihan itu menyisakan bekas di pipiku.


“Egois!! Egois!! Benar-benar egois!!” teriakku.


Tanganku mencabut rerumputan yang kupijak dengan asal. Kulemparkan mereka begitu saja.


“Tuhan? Tak benarkah jika aku mengeluhkan hal semacam ini? Dosakah Tuhan?” kataku parau.


Isakan kecilku makin menjadi.


“Tuhan nggak suka orang yang mudah mengeluh Vi,” suara baritone itu mengalun lembut. Membuatku terdiam dan menoleh ke arahnya.


“Kak Alvin?” kataku lemah.


Manik mataku menatap lekat mata sipit pemuda jakung berkulit putih itu.


“Vi, Tuhan punya rencana. Kita sebagai makhluk hanya bisa menurutinya,” katanya seraya mengelus puncak kepalaku.


Aku terdiam mendengar perkataannya. Memang benar. Namun sering kali rencana Tuhan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.


“Via, aku tahu. Orang tua kamu over protective. Tapi nggak pernahkah kamu berpikir jika mereka sayang sama kamu? Orang tua mana yang ingin anaknya celaka? Mereka cuma ingin yang terbaik buat kamu Via,” katanya lembut.


Aku terbelalak mendengar perkataannya. Sorot mataku menatap tajam pemuda itu. Aku baru mengenalnya dua bulan yang lalu, setelah dia pindah di rumah bibinya yang berada di depan rumahku. Walau aku mengenalnya tak cukup lama, namun aku merasa nyaman berada di dekatnya. Tak jarang aku dan Kak Alvin bertukar cerita. Tapi kali ini darahku berdesr lebih deras mendengar perkataannya. Dia tak mengerti apa yang kurasakan saat ini.


“Lo tau apa Kak? Lo tau apa yang gue rasain? Emang enak kalo lo gini dilarang, gitu dilarang? Tau apa lo tentang keluarga gue? Tentang orang tua gue yang over protective itu? Tau apa lo Kak?” tanyaku bertubi-tubi penuh emosi. Bahkan aku lupa jika kami tak terbiasa ber-gue-lo.


Kulihat pemuda itu tersenyum tipis mendengar pertanyaanku.


“Mungkin aku nggak tau tentang apa yang kamu rasain Via. Tapi bagaimanapun itu, kamu harus bersyukur. Kamu punya orang tua lengkap yang menyayangi kamu,”


“Sayang? Kayak gitu lo bilang sayang kak?”


“Vi, kamu nggak akan pernah tau betapa berutungnya kamu punya orang tua seperti mereka sebelum kamu kehilangan satu aja diantaranya,” katanya seraya menatap lekat manik mataku.


Aku terdiam. Membenarkan apa yang diucapkannya. Sejenak tercipta suasana hening diantara kami.


“Kamu tau Vi alasan aku pindah kesini?” tanyanya tiba-tiba memecahkan kesunyian.


Aku hanya menggeleng lemah.


“Karena sekarang hanya cinta kasih dari Paman dan Bibiku yang bisa kuharapkan,” katanya lagi seraya mengulun senyuman hambar.


Aku mengernyit. Berusaha mencerna apa yang baru saja dikatannya.


“Maksud kakak?” tanyaku pelan.


Sekali lagi  kulihat pemuda itu mengulun senyuman hambar.


“Kenapa aku bilang kamu sangat beruntung Via? Karena kamu punya dua orang tua yang sayang dan perhatian sama kamu. Mungkin kamu terganggu dengan sikap mereka yang over protective. Tapi kamu tau? Mereka melakukan itu semata-mata kerena mereka sayang sama kamu. Mereka gak mau ada hal buruk terjadi sama kamu. Apalagi kamu anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki. Jadi wajar jika mereka memperlakukan kamu berbeda dari saudaramu yang lain,” katanya panjang lebar.


“Coba sekarang kamu lihat aku. Papaku ninggalin aku dan mama sejak aku masih kecil. Tanpa alasan yang jelas. Bahakan aku hampir gak ingat seperti apa wajahnya. Dan kamu tau? Dua bulan yang lalu, Tuhan memanggil Mama. Sedih udah pasti. Tapi aku coba untuk sabar. Karena aku yakin Tuhan punya rencana, dan semua akan indah pada waktunya,” lanjutnya kemudian seraya menoleh ke arahku.


“Jadi Kakak....” kataku menggantung. Kualihkan tatapanku darinya.


Bayang-bayang air terbentuk di dua bola mataku. Aku tak pernah menyangka jika itu yang membuatnya pindah.


“Iya Via, kamu udah tau kan sekarang? Gimana beruntungnya kamu? Orang tua over protective karena mereka sayang sama kamu,” katanya lembut.


“Mulai sekarang kamu harus janji, jangan pernah seperti ini lagi. Kasihan Mama Papa kamu khawatir,” lanjutnya.


“Iya Kak. Makasih ya,” bisikku parau.


Pemuda itu kembali membelai puncak kepalaku. Aku tersenyum damai. Terimakasih Tuhan, Kau memberiku dua orang tua yang teramat menyayangiku. Maaf jika aku tak pernah bersyukur untuk karunia terindahmu ini.
***END***

You Might Also Like

0 comments