Fiction

Coretan Tak Berguna

June 16, 2012

Coretan Tak Berguna
By: Nina Kurnia Dewi
           

Aku terduduk di kursi kayu tua ini, sendiri, di taman belakang rumah. Entah apa yang terbesit di otakku sehingga hampir setiap hari aku melamun di tempat ini. Aku mendengus pelan. Kukeluarkan buku kecil dari sakuku serta sebuah pena mungil yang selalu menemaniku. Kubuka buku itu, kububuhkan tanggal di pojok kiri atas.


16 Juni 2012

Ini bukan sekedar tentang harapan. Namun ini juga tentang hati dan perasaan. Mungkin suatu hari nanti aku bisa membedakan mana suka mana cinta. Mana kagum mana sayang. Mungkin, jika aku mampu melakukannya dengan benar, tak akan ada lagi air mata yang keluar untuk semua kebodohan ini.

Orang jawa mengatakan witing tresno jalaran soko kulino. Cinta itu tumbuh karena telah terbiasa. Namun biasa juga butuh proses. Butuh waktu. Dan tentu itu tak semudah membalikkan telapak tangan..

Untuk biasa juga diperlukan usaha. Usaha keras tentunya. Dan mungin jika usaha itu tak kunjung berhasil, kita harus bisa membalikkannya 180o. Jika awalnya cinta, mungkin tak perlu benci. Cukup melupakannya.

Dan mungkin dari sini akan muncul pepatah baru. Mungkin orang jawa lain akan berkata lali jalaran soko kulino nglali. Lupa karena terbiasa melupa. Dan tetntu itu juga butuh proses, butuh waktu. Kembali lagi, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Nanti jika waktunya tiba, mungkin aku tak lagi merindukan dia. Tak lagi mengharapkan dia, atau sebaliknya, jika aku terus berpegang pada pepatah pertama.

Mungkin suatu saat aku juga perlu belajar suatu hal penting lain, jangan mudah menaruh hati pada seseorang. Karena jika tak terbalaskan rasa sesaklah yang merambah.

Aku benci kata ‘mungkin’ sebenarnya. Kata itu tak pernah menyiratkan sebuah keyakinan. Hanya menyiratkan harapan. Dan aku juga benci harapan, jika ujung-ujungnya tidak tersampaiakan.

Dan mungkin nanti, aku bisa menghilangkan kata ‘mungkin’.

Aku tersenyum tipis. Kubaca sekilas tulisan itu sebelum aku menutupnya. Terkesan sangat bodoh. Lagi-lagi coretan tak berguna itu tercipta. Manik mataku menerawang jauh ke cakrawala.


“Awan, andai kau bisa membawa rasa ini pergi dai hatiku sekarang. Mungkin aku tak lagi mengharapkan dia. Matahari, andai kau bisa menampar dan menyadarkanku, jika dia tidak pernah diciptakan untukku,” bisikku pelan.


Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mataku.


“Tuhan, bilakah Kau sadarkan aku? Bilakah Kau bawa rasa ini pergi dari hatiku? Aku muak dengan ini. Aku benci dengan semua harapan palsu yang ditorehkannya diatas hatiku,” lanjutku lemah.
***END***

You Might Also Like

0 comments